“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa: 1)
Ayat di atas dimulai dengan panggilan kepada seluruh umat manusia (an-Nas). Ini berarti, apa yang akan dikemukakan setelahnya merupakan himbauan yang berlaku universal. Pengakuan adanya Rabb, asal usul manusia, dan keharusan menjaga silaturrahim, adalah nilai yang bersifat universal yang diakui oleh seluruh umat manusia.
Kata Rabb cakupannya lebih luas dan bersifat universal, karena setiap orang mengakui adanya Rabb sebagai pencipta alam semesta, pencipta Adam dan keturunannya. Inilah yang disebut dengan Tauhid Rububiyyah. Sementara kata Allah khusus untuk Zat yang wajib di sembah. Inilah yang dimaksud dengan Tauhid Uluhiyyah. Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ungkapan (ittaqu rabbakum) untuk memberikan kesan targhib atau membuat rasa senang. Sementara ungkapan (ittaqullah) untuk tarhib atau membuat rasa takut. Karena Allah adalah Zat yang disegani dan ditakuti.
Penekanan untuk bertakwa sebelum obyek nilai yang dituju, banyak dilakukan al-Qur’an. Dengan bertakwa, seseorang akan teringat kepada Allah sebelum bertindak, baik dalam hal kewajiban maupun larangan. Karena tindakan yang tidak dilandasi semangat bertakwa hasilnya sudah tentu akan berbeda.
Setelah mengungkapkan kedudukan-Nya sebagai pencipta manusia, Allah menjelaskan bahwa manusia berasal dari nafs (jiwa) yang satu, yaitu Nabi Adam, yang tercipta dari saripati tanah. Kemudian diciptakan darinya pasangannya yaitu Siti Hawa. Kata zauj yang berarti pasangan, memberikan pengertian bahwa antara lelaki dan perempuan adalah saling melengkapi. Keduanya jelas berbeda dalam beberapa hal tapi masih dalam bingkai manusia yang mempunyai akal, perasaan dan emosi. Hal itu agar setiap diri, baik lelaki maupun perempuan, tidak merasa sempurna tapi saling membutuhkan dan menutupi kekurangan masing-masing.
Dari kedua jenis lelaki dan perempuan, kemudian muncul generasi baru yang terdiri dari kaum lelaki (rijal) dan kaum perempuan (nisa) yang tersebar ke seluruh penjuru bumi dalam jumlah yang banyak. Penentuan jenis lelaki dan perempuan adalah mutlak kebijakan Allah. Manusia hanya melakukan sebab. Pada akhirnya Allah jua yang menentukan.
Allah kemudian menegaskan lagi perintah-Nya kepada segenap manusia untuk bertakwa kepada Allah, bukan kepada yang lain. Berikutnya, Allah adalah Zat yang dijadikan sebagai sarana untuk saling meminta, sebagaimana kekerabatan. Seperti dalam ungkapan orang Arab: “As’aluka billahi wa birrahimi,” yang artinya: “Aku memohon kepadamu dengan atas nama Allah dan atas kedekatan antara kita sebagai kerabat.” Atau juga bisa berarti : “Jagalah silaturrahim, jangan kau putuskan.”
Silaturrahim terdiri dari dua kata: Pertama, Shilah yang merupakan kata jadian (mashdar) dari Washala-Yashilu-Shilatan-Washlan. Arti Shilah adalah persambungan atau menyambung. Kedua, Rahim (bukan Rahmi), jamaknya Arham, yang berarti sanak kerabat, karena muncul dan terlahir dari rahim seorang ibu. Kata ini berasal dari kata Rahmah yang artinya kasih sayang yang disampaikan kepada orang yang dikasihi. Jadi, Silaturrahim adalah satu kegiatan menyambung tali persaudaraan atas dasar kasih sayang.
Dalam pengertian yang lebih luas, silaturrahim adalah berbuat baik kepada sanak kerabat, baik karena adanya hubungan nasab atau karena hubungan permantuan (Shihr). Berbuat baik kepada mereka mempunyai banyak ragam, mulai dari mengucapkan salam, berkunjung, membantu mereka yang susah baik dengan materi maupun yang bukan materi, memberikan nasihat, dan lain sebagainya. Intinya memberi mereka segala bentuk kebaikan dan menghindarkan mereka dari segala bentuk keburukan, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
firman-Nya dalam hadits qudsi,
“مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ”.
“Barang siapa menyambungmu (silaturrahmi) maka Aku akan bersambung dengannya, dan barang siapa memutusmu (silaturrahmi); maka Aku akan memutuskan (hubungan)Ku dengannya”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Pada masa kini kunjung-mengunjungi sanak kerabat, sudah jarang dilakukan karena kesibukan yang sangat padat. Cara minimal yang paling efektif adalah dengan berkirim SMS, BBM atau mengontak melalui telepon, atau mengirim bingkisan, atau apa saja yang bisa menjalin persahabatan diantara individu atau kelompok. Namun tentu saja bertemu muka, berjabat tangan, dan mengobrol secara langsung akan lebih efektif lagi, karena sentuhan fisik melalui jabat tangan akan memberikan rasa yang berbeda dibanding tidak bertemu muka. Hati yang resah menjadi tenang, sifat saling curiga bisa menjadi hilang, dan dendam yang menahun bisa pupus, dan lain sebagainya.
Dalam al-Qur’an, Silaturrahim dijelaskan pada beberapa ayat, antara lain al-Baqarah: 27 (sifat Ulul Albab), an-Nisa: 1 (perintah untuk bersilaturrahim), Muhammad: 22 (memutuskan tali silaturrahim termasuk merusak), dan ar-Ra’d: 21 dan 25 (sifat Ulul Albab).
Urgensi silaturrahim
Manusia adalah makhluk sosial, di mana siklus kehidupannya sangat terkait dengan sesamanya. Jika hubungan antarmanusia saja begitu kuat, maka apalagi hubungan antarsanak kerabat yang mempunyai hubungan nasab dan darah, tentu lebih erat lagi. Hal ini disebabkan karena sanak kerabat adalah orang-orang yang paling dimintai pertolongan dalam situasi apapun, baik dalam suka maupun duka. Kepada sanak keluargalah harta warisan seseorang akan diberikan. Munculnya puak-puak (klan) pada satu bangsa, adalah dalam rangka persatuan agar bisa saling tolong menolong sesama mereka dalam menjalani urusan kehidupan.
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً.
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36
Macam silaturrahim
Imam Qurthubi membagi silaturrahim menjadi dua,
- Silaturrahim umum adalah rahimuddin artinya hubungan karena berdasarkan agama. Maka bentuk silaturrahimnya dengan saling mengasihi, menasehati, berbuat adil, berlaku obyektif, memenuhi segala kewajiban dan hal yang sunnah.
- Silaturrahim khusus adalah memberikan nafkah kepada sanak kerabat, mengetahui hal ihwal mereka, memafkan kesalahan mereka.
Manfaat silaturrahim
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa silaturrahim mempunyai banyak manfaat. Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadisnya:“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.
“Siapa yang ingin rezekinya bertambah, umurnya panjang, maka bersilaturrahimlah.”
Nabi tidak menjelaskan hubungan antara silaturrahim dengan banyaknya rezeki dan umur panjang. ada alasan-alasan rasional dan spiritual yang bisa dikemukakan di sini. Alasan rasional bagi tambahnya rezeki adalah:
- Pertama, silaturrahim dalam bentuk temu muka dan kunjungan adalah adanya hubungan timbal balik antara seseorang dengan lawan bicaranya. Hubungan timbal balik ini akan memberikan rasa simpati.
- Kedua, dengan temu muka juga akan terjadi tukar menukar pengalaman, eksperimen, informasi, dan lain sebagainya yang sangat berguna.
- Ketiga, dengan silaturrahim akan terajut jaringan kekeluargaan. Jika hubungan ini sudah terjalin dengan baik, maka bisa jadi orang yang bersilaturrahim adalah orang yang diprioritaskan untuk menerima suatu pekerjaan yang menjanjikan.
- Keempat, silaturrahim mendekatkan seseorang dengan pusat lingkaran pemegang kebijakan. Dalam kondisi biasa betapa sulitnya bertemu dengan pemegang kebijakan, kecuali setelah melalui banyak orang. Tapi melalui silaturrahim semua hambatan tersebut bisa dilampaui. Sebaliknya, pemegang kebijakan pun seringkali merasa kesusahan mencari orang yang akan didudukkan dalam suatu pekerjaan.
- Kelima, dengan bersilaturrahim, sebenarnya seseorang telah menanamkan kebaikan kepada orang lain. Kebaikan ini akan terus berkesinambungan sampai anak cucu. Oleh karena itu, Nabi pernah mewasiatkan agar anak-anak terus melanjutkan hubungan dengan teman-teman ayahnya sebagai tanda birrul walidain. Karena ayah mereka telah berhasil membangun jalur silaturrahim dengan orang lain. Maka jalur ini perlu dipelihara. Siapa tahu bahwa jalur ini bisa bermanfaat bagi kehidupan mereka kelak.
Alasan spiritual bertambahnya umur adalah bahwa bersilaturrahim disukai Allah SWT melalui sifat Rahman dan Rahim-Nya. Dengan demikian dia telah melestarikan sifat Allah tersebut. Allah sangat senang jika sifat-Nya yang agung dimanifestasikan dalam kehidupan manusia. Jika Allah sudah senang, maka Allah bisa saja mengatur kehidupan manusia ke arah yang lebih sejahtera melalui cara Allah sendiri.
Arti panjang umur sebagaimana dalam hadis di atas, bisa terjadi dalam arti yang sebenarnya. Misalnya, orang yang seharusnya berumur 60 tahun, berdasarkan takdir mu`allaq, tapi setelah bersilaturrahim Allah panjangkan umurnya hingga 65 tahun, sesuai dengan takdir Allah yang sudah final (taqdir mubram). Namun bisa juga berarti metafor (majazi) yaitu banyaknya berkah pada umur yang pendek. Contohnya Imam Syafi’i dan Imam Nawawi. Keduanya berumur tidak sampai 60 tahun, tapi mampu mendedikasikan keilmuannya yang luar biasa kepada umat Islam sampai masa kini.
Silaturrahim adalah sebuah konsep universal yang dipraktikkan berdasarkan kemanusiaan dan agama. Islam menegaskan silaturrahim sebagai cara interaksi sesama sanak keluarga dan juga umat manusia. Dampak silaturrahim begitu luar biasa dalam kehidupan masyarakat. Silaturrahim akan menciptakan perdamaian, keharmonisan, dan kesejahteraan. Silaturrahim tidak terbatas pada waktu Idul Fitri, tapi bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja dengan tetap memperhatikan sopan santun dan etika pergaulan yang telah disepakati oleh masyarakat.
0 comments:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar yang sekaligus sebagai Informasi dan Diskusi Kita , Bila Belum ada Jawaban Akan secepatnya ditindaklanjuti