MAKNA MAKAM , KUBUR , PEMAKAMAN/KUBURAN
Di Indonesia terutama di Jawa Makam atau Kuburan merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi orang yang telah meninggal dunia. makna dari Makam atau Kuburan harus dimengerti secara baik karena ada perbedaan makna tersebut pada pengunaan dibeberapa tempat.
Kuburan dalam KBBI daring adalah tanah tempat menguburkan mayat; makam. Sedangkan pekuburan adalah tempat yang luas yang khusus digunakan untuk menguburkan mayat
Dalam bahasa Arab, kuburan (القبر) adalah mengebumikan jenazah, memendam, melupakan, memasukkan, menyembunyikan. Sedangkan tempatnya adalah maqbarah (مقبرة). Dan ini sesuai dengan istilah yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, hanya saja tempatnya tidak disebut “makbarah” tetapi pekuburan. Dan dalam bahasa Indoensia antara kubur dan kuburan memiliki makna yang sama, tempat menguburkan mayat.
Selain Kuburan ada istilah makam, dan yang menimbulkan banyak kesalahpahaman, bahkan bisa salah memaknai. Makam dalam bahasa Arab adalah maqam (مقام), menggunakan huruf “qaf” bukan “kaf”, bila menggunkan “kaf” tidak ditemukam kosa katanya. Maqam berarti, ‘tempat berpijaknya dua kaki, kedudukan seseorang, berdiri, bangkit, bangun, berangkat’. Dalam kamus bahasa Arab tidak ditemukan arti ‘kuburan’. Sedangkan dalam bahasa Indonesia (KBBI), makam (yang sebenarnya adalah maqam) diartikan dengan ‘kuburan’ walau juga memiliki makna yang lainnya (seperti yang tersebut di atas).
Dalam tulisan ini kita mensederhakan Penggunaan Kata Makam dengan Kubur sedangkan Pemakaman digunakan Penguburan/Kuburan
MAKAM/KUBURAN PRIBADI ( KELUARGA ) DAN MAKAM UMUM
Setiap disebutkan kata kuburan, umumnya yang terlintas dalam benak pikiran adalah rasa takut, khawatir, dan cemas. namun tidak semua perasaan tersebut terjadi di benak Masyarakat.
Dibeberapa daerah di indonesia kita mengenal adat/tradisi menguburkan anggota keluarga yang telah tiada di halaman rumah atau di tanah Pribadi , baik di halaman rumah terutama di bagian belakang, atau di tanah keluarga yang tidak jauh dari tempat tinggal , hal tersebut juga sering kita temui di beberapa pesantren yang memakamkan anggota keluarga mereka yang telah wafat di halaman pondok PesantrenMakam yang ditandai dengan nisan dengan pinggiran semen atau batu ditata sedemikian rupa sehingga kesan Angker pada kuburan bisa dihilangkan , dan juga berkaitan dengan perawatan dan perasaan ingin selalu dekat dengan mereka yang sudah meninggal tersebut
Didaerah yang padat penduduk terutama di perkotaan yang harga tanah sangatlah berarti dan cukup tinggi , penggunaan tanah pribadi untuk pemakaman sudah tidak dimungkinkan disamping juga akan mengganggu tetangga dari tanah yang digunakan pemakaman pribadi tersebut , bahkan dibeberapa tempat hal tersebut dilarang sesuai perda yang berlaku . Sehingga Penyediaan Lahan untuk Pemakaman Umum menjadi Kewajiban dari pemerintah daerah untuk menyediakan Lahan Khusus yang diperuntukan bagi pemakaman Umum tersebut yang kita kenal dengan TPU (tempat pemakaman Umum )
Disamping penyediaan lahan untuk TPU oleh Pemerintah Daerah , pihak Masyarakat juga diberikankewenangan untu membuat/menyediakan lahan Khusus untuk pemakaman bukan Umum areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah yang pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau badan keagamaan baik berupa Tanah Wakaf maupun Tanah Keluarga yang digunakan secara bersamaan disuatu tempat.Sehingga kita menggolongkang Jenis Kepemilikan dan Pengelolaan tanah perkuburan yaitu
- Pemakaman Milik Pribadi
- Pemakaman Milik Keluarga/Sosial Keagamaan/Wakaf
- Pemakaman Umum Pemerintah Daerah
MERAWAT MAKAM/ KUBURAN
Umat Muslim disunnahkan untuk merawat makam keluarga maupun saudara sesama Muslim sebagai bentuk penghormatan sekaligus memuliakan jenazah. hal lain yang disunahkan adalah menanam tanaman di atas tanah kuburan Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain dijelaskan boleh. Bahkan hal ini disunnahkan karena Rasulullah ﷺ pernah mendengar rumput-rumput dan tanaman di atas makam mendoakan penghuni yang ada di dalamnya.
Namun demikian, Habib Abdurrahman menjelaskan menanam pohon di atas kuburan akan menjadi haram apabila akar tersebut sampai kepada mayat yang ada di dalam . Jika akar pohon yang disiraminya itu tidak sampai pada mayat, maka hukumnya makruh
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berikut;
وأما غرس الشجر على القبر وسقيها فإن أدى وصول النداوة أو عروق الشجر إلى الميت حرم وإلا كره كراهة شديدة وقد يقال يحرم
Sedangkan menanam pohon di atas kuburan dan menyiraminya adalah apabila akar atau dahan pohon tersebut dapat mencapai pada mayat, maka hukumnya haram. Sementara bila tidak sampai pada mayat, maka hukumnya sangat makruh, bahkan ada yang menghukuminya juga haram.
Adapun jika yang ditanam adalah pohon bunga yang memiliki dahan dan akar yang kecil, maka hukumnya sunnah. Ini sebagaimana Nabi ﷺ pernah meletakkan dan menanam dahan pohon kurma di atas kuburan agar bisa meringankan siksa ahli kubur.
Disebutkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas, dia berkata;
مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ: أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، ثم قال بلى، إنه لكبير، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، قَالَ: فَدَعَا بِعَسِيبٍ رَطْبٍ فَشَقَّهُ بِاثْنَيْنِ، ثُمَّ غَرَسَ عَلَى هَذَا وَاحِدًا، وَعَلَى هَذَا وَاحِدًا، ثُمَّ قَالَ: لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Suatu ketika Nabi saw melewati dua kuburan, kemudian beliau berkata; ‘Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang diazab, mereka berdua diazab bukan karena dosa besar. Adapun salah satunya dahulu tidak menutup diri ketika kencing. Adapun yang lainnya, dahulu sering berjalan sambil menyebar fitnah.
Kemudian beliau mengambil pelepah kurma yang masih basah, dan dibelah menjadi dua, masing-masing ditanam pada kedua kuburan tersebut. Para sahabat bertanya; ‘Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?’ Beliau menjawab; ‘Mudah-mudahan ini bisa meringankan azab keduanya selama belum kering.
Tak hanya membersihkannya dari pohon liar atau rerumputan, banyak umat Muslim yang memaknai anjuran itu untuk merawat makam secara berlebihan. Misalnya dengan membangun makam dan menghiasnya keramik atau mengecat dan menuliskan sesuatu di atas nisannya pada pemakaman / kuburan yang merupakan tempat dimana si MayyitRasulullah pernah bersabda dalam salah satu haditsnya:
مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ
“Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yang paling menakutkan” (HR. Ahmad).
Berdasarkan hadits tersebut, kuburan sejatinya memang dicirikan sebagai tempat yang menyeramkan. Hal ini tak lain ditujukan agar orang yang melihat dan menziarahi kuburan dapat mengambil iktibar dari keadaan orang yang telah meninggal, sehingga ia semakin bertambah ketakwaannya dan semakin mempersiapkan bekal dalam menghadapi kematian.
MEMBERI BANGUNAN / MENGKIJING DAN MENGHIAS MAKAM/KUBURAN
Setiap yang bernyawa, pastilah akan merasakan fase di mana ketika arwah meninggalkan jasadnya, "Kematian" . Cara Islam memuliakan manusia yang telah wafat (mayit) adalah dengan cara memerintahkan sebagian dari saudaranya yang masih hidup untuk merawat jenazah, serta menguburkannya.
Ada beberpa hal yang disunahkan setelah Jenazah dikuburkan salah satunya dengan merawat/ membersihkan makamnya dan menancapkan pepohonan kecil (pohon bunga) diatasnya.
Namun, sebagian orang dikarenakan rasa cintanya kepada mayit, atau rasa takdzim-nya, ia tetap memuliakan mayit dengan cara memperlakukan mayit bak orang yang masih hidup. Termasuk salah satunya, dengan cara membuat tempat teduh di atas kuburnya, atau yang biasa disebut dengan Kijing.
Pertama, perkataan ‘Ali bin Abi Tholib,
عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
Dari Abul Hayyaj Al-Asadi, ia berkata, “‘Ali bin Abi Thalib berkata kepadaku, “Sungguh aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutusku dengan perintah tersebut. Yaitu jangan engkau biarkan patung (gambar) melainkan engkau musnahkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 969).
Syaikh Musthofa Al Bugho mengatakan, “Boleh kubur dinaikkan sedikit satu jengkal supaya membedakan dengan tanah, sehingga lebih dihormati dan mudah diziarahi.” (At Tadzhib, hal. 95). Hal ini juga dikatakan oleh penulis Kifayatul Akhyar, hal. 214.
Kedua, dari Jabir, ia berkata,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan memberi bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim no. 970).
Ketiga dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah jadikan kubur menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian” (HR. Muslim no. 532)
keempat Ummu Salamah pernah menceritakan pada Rasulullah ﷺ mengenai gereja yang ia lihat di negeri Habaysah yang disebut Mariyah. Ia menceritakan pada beliau apa yang ia lihat yang di dalamnya terdapat gambar-gambar. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda,
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
“Mereka adalah kaum yang jika hamba atau orang sholeh mati di tengah-tengah mereka, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya. Lantas mereka membuat gambar-gambar (orang sholeh) tersebut. Mereka inilah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari no. 434).
Sebelum lebih jauh , kita bisa menengok apa yang dimaksud Mengkijing ?
Dalam KBBI, kijing ialah "Sejenis batu-bata atau semen penutup makam yang menyatu dengan nisannya. Umumnya menyisakan bagian tengah (tanah) kubur. Fungsinya terhadap kubur sama seperti fungsi pigura membingkai foto."
Membangun dan Mengkijing dalam perspektif/pandangan lain bisa dilihat dari Niat dan Kepemilikan tanah kuburan tersebut , Larangan dalam membangun kuburan (jawa: mengijing) ini oleh para ulama diarahkan pada hukum makruh ketika tidak ada hajat dan jenazah dikuburkan di tanah milik pribadi dan diarahkan "boleh " ketiga makam tersebut merupakan makam para Nabi, Syuhada' (Mati Syahid), dan Orang-orang Shalih, ulama atau dikenal sebagai wali (kekasih Allah)
A. Memberi Bangunan/Mengkijing di Makam Nabi , Syuhada' dan Auliya'
Para Nabi, Syuhada' (Mati Syahid), dan Orang-orang Shalih, ulama atau dikenal sebagai wali (kekasih Allah), maka " boleh " makam tersebut diabadikan dengan dibangun agar orang-orang dapat berziarah dan bertabarruk pada makam tersebut. yang dengan keberadaanya umat Islam lebih termotivasi lagi untuk meneladani sirah, manaqib serta gaya hidup Beliau (para Nabi, Syuhada' , Sholihin ).
Meskipun makam orang soleh ini berada di pemakaman umum.
Dalam Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin:
ﻗﺒﻮﺭ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻘبﺔ ﻹﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎﺭﺓ ﻭاﻟﺘﺒﺮﻙ. ﻗﺎﻝ اﻟﺤﻠﺒﻲ: ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﻣﺴﺒﻠﺔ، ﻭﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ
(Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137).
Pendapat diperbolehkannya juga dikemukakan oleh Al-Imam Barmawi, Imam Bujairimy, Imam Halaby dan Imam Rahmani:
نعم استثنى بعضهم قبور الأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم برماوي وعبارة الرحماني:نعم قبور الصالحين يجوز بناؤها ولو بقبة الأحياء للزيارة والتبرك،قال الحلبي: ولو في مسبلة وأفتى به
"(Dikecualikan dari larangan pengkijingan makam) Jika makam tersebut ialah makam dari: Para Nabi, Syuhada', atau orang-orang sholih, maka diperbolehkan dengan tujuan sebagai pembelajaran dan motivasi kepada umat akan kemuliaan mereka, hingga dapat menteladaninya, menziarahinya, dan bertabarruk dengannya." (Hsy. Bujairimi, 2/297)
B. Memberi Bangunan/Mengkijing di Makam Pada Tanah Pribadi/Keluarga
Pada sebagaian Masyarakat memakamkan Anggota keluarga di pemakaman yang diskhususkan untuk anggota keluaraga sendiri sudah umum dilakukan , adakalanya pemakaman tersebut berada disekitar rumah (Halaman) ada pula pada tanah disekitar makam umum/wakaf namun kepemilikannya merupakan milik pribadi/keluarga.
Pendapat yang ada sebagaian ulama' memberikan hukum makruh , Hukum Makruh membangun kuburan di tanah pribadi ini hanya berlaku ketika Niat/tujuan dari membangun bukan untuk menghias (tazyin) atau mempermegah kuburan. Misal karena bertujuan menandai kuburan satu dengan yang lainnya, atau tidak bertujuan apa-apa, hanya sebatas ingin membangun saja. Jika tujuan dari membangun adalah menghias dan memegahkan kuburan
Dalam kitab Fath al-Mu’in dijelaskan:
وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل. ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه.
(Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal. 219).
Hukum membangun ini meningkat menjadi haram. Seperti yang disampaikan dalam kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah:
يكره أن يبنى على القبر بيت أو قبة أو مدرسة أو مسجد أو حيطان - إذا لم يقصد بها الزينة والتفاخر وإلا كان ذلك حراما
“Makruh membangun pada kuburan sebuah ruang, kubah, sekolah, masjid, atau tembok, ketika tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan, jika karena tujuan tersebut, maka membangun pada makam dihukumi haram” (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 536).
Al-Imam Syarwani juga menyatakan:
ويكره البناء على القبر في حريم القبر وهو ما قرب منه جدا وخارج الحريم هذا في غير المسبلة
"Dimakruhkan membangun sesuatu di atas kubur, baik di atas kubur secara langsung atau di dekatnya. (Hal ini semua) Jika kubur bukan berada di pemakaman umum." (Hsy. Syarwani, 3/189)
Senada dengan ucapan Al-Imam Syarwaniy, perkataan dari Al-Imam Yahya bin Abu Al-Khoir Al-Imraniy:
وإن كان في ملكه جاز له أن يبني ما شاء؛ لأنه لا يضيق على غيره
"Jika kubur tersebut berada dalam kepemilikan mayit, maka diperbolehkan (untuk mengkijingnya) sesuai dengan kemauannya. Karena tidak unsur menganggu kemaslahatan orang lain." (Al-Bayan, 3/110)
Adapun alasan ulama tidak mengharamkan hal ini (mengkijing makam), dengan dalil hadits ini (larangan Rasulullah saw) dikarenakan hak kepemilikan mayit atau ahli warisnya atas petak tanah kuburan tersebut, serta tak adanya unsur menganggu (Dhoror) hak orang lain.
Karena Qoidah Fiqh menjelaskan:
لا يمنع تصرف الملاك في ملكه على العادة.
"Pemakaian hak milik oleh pemilik dibolehkan (tidak terlarang), selama pemakaian tersebut dikatakan wajar." (Zad Al-Labib, hal: 198)
C. Memberi Bangunan/Mengkijing di Makam Pada Pemakaman/Kuburan Umum
Pemakaman umum yang umumnya banyak dijumpai ditengah masyarakat, utamanya di daerah perkotaan yang mempunyai keterbatasan lahan/tanah untuk pemakaman disamping harga tanah yang melambung . seperti uraian diatas pemakaman umum dibagi dalam 2 katagori yaitu.
- Pemakaman Umum yang Penyediaan dan pengelolahan di lakukan Oleh Pemerintah Daerah , Pada pemakaman umum yang memang diperuntukan untuk semua masyarakat sekitar yang meninggal didaerah tersebut tanpa pembatasan agama, suku dan Ras tertentu asalkan masih berstatus warga didaerah tersebut yang kita kenal dengan Taman pemakaman umum (TPU) yang bisa bersifat umum dalam satu kecamatan , ada yang umum dalam lingkup kelurahan dan ada pula Pemakaman Umum yang hanya dalam lingkup RW dengan disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah penduduk yang ada, dan penyediaan Lahan di sediakan Pemerintahan Derah baik dari tingkat Kabupaten/Kota, Kecamatan ataupun oleh tingkat Kelurahan/Desa
- Pemakaman Umum yang Penyediaan dan pengelolahan dilakukan oleh Masyarakat Sekitar maupun oleh Masyarakan yang bergabung dalam Sosial keagamaan misalnya Tanah Wakaf dll , pada pemakaman umum ini biasanya ada ketentuan-ketentuan tertentu bagi Jenazah yang akan dimakamkan disana yang diatur oleh kesepakatan dari masyarakat tersebut ( misalnya , Makam Islam yang berarti khusus bagi jenazah yang akan dimakamkan hanya beragama Islam dll )
Alasan lainnya adalah pembatasan atau perampasan hak milik bersama atas tanah pemakaman. Bila kita tarik secara logika, jika seluruh kuburan yang ada di muka bumi ini dikijing, berapa banyak lahan yang harus disiapkan untuk tanah pemakaman?
قال الشافعي - رحمه الله -: (ورأيت من الولاة من يهدم بمكة ما بني بها، ولم أر من الفقهاء من يعيب عليه ذلك) .
Al-Imam Asy-Syafi'i berkata, "Aku telah melihat beberapa makam pejabat (yang dikijing dan berada di pemakaman umum) dibongkar di Mekkah. Dan tak ku kektahui satupun dari para ulama dan pakar fiqh yang mengingkari hal tersebut (pembongkaran makam)." (ditukil dari kitab: Al-Bayan, 3/110)
Tidak diperbolehkan, jika tidak ada keperluan atau udzur (alasan yang dibenarkan syari'at) untuk mengkijing makam, semisal kawasan makam yang rawan banjir, atau dikhawatirkan makam itu digali (jika tanpa dikijing) orang lain, sebelum lapuknya mayit
Al-Imam Ali Syibromilisy, menambahkan:
فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة بمسبلة أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه (أه بالتصرف اليسير)
"Jika bangunan (kijing) di atas kubur tersebut dibuat dengan tanpa alasan (udzur) yang dibenarkan syariat, sedang kubur tersebut terletak di pemakaman umum atau tanah wakaf, maka perbuatan tersebut Haram dan wajib (bagi pihak berwenang) untuk membongkar kijing tersebut, jika dianggap hal tersebut mempersempit lahan pemakaman." (Hsy. Ali Syibromilisy, 3/36-38)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membangun kuburan (mengijing) hukum asalnya adalah makruh ketika dibangun di tanah pribadi, selama tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan kuburan. Sedangkan jika kuburan berada di tanah milik umum, maka hukum membangunnya adalah haram dan wajib untuk dibongkar. Perincian hukum ini, dikecualikan ketika makam tersebut adalah makam ulama atau orang yang saleh, maka boleh dan tidak makruh membangun makam tersebut agar dapat diziarahi oleh khalayak umum.
Setelah mengetahui perincian hukum tersebut, alangkah baiknya tatkala kita melihat salah satu makam keluarga kita yang berada di pemakaman umum (bukan tanah pribadi) dan masih saja di bangun (dikijing), agar secara sukarela membongkarnya demi kemaslahatan bersama. Sebab pemakaman umum berlaku untuk masyarakat secara umum, bukan monopoli perseorangan, apalagi sampai mendholimi makam yang sudah ada disekita "kijing" tersebut dan mengurangi kapasitas pemakaman masyarakat setempat karena banyaknya kuburan yang dibangun. Maka seyogiyanya bagi setiap ahli waris, jika merasa tanah pemakaman tersebut bukanlah miliknya sendiri, agar tidak mengkijing makam dari orang tua atau familinya. Memuliakan orang tua setelah mereka wafat, bisa dilakukan dengan banyak cara. Yang dibutuhkan mereka para mayit hanyalah lantunan doa, istighfar dan amalan baik lainnya yang dihadiahkan kepadanya.
Namun dalam penerapan hal demikian pada kuburan orang lain yang bukan keluarga kita, alangkah baiknya jika hukum demikian disampaikan secara santun dan bijaksana, sebab hal ini merupakan persoalan yang sensitif. Apabila dirasa ketika hukum demikian disampaikan kepada orang lain dan diyakini menyebabkan perpecahan dan kemudaratan yang lebih besar daripada maslahat yang ada, maka lebih baik tidak disampaikan, dengan tetap berusaha mengupayakan cara yang lebih baik.
Wallohu A'lam Bissowab
Sumber: https://islam.nu.or.id/jenazah/ , https://www.laduni.id/post/
Script
0 comments:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar yang sekaligus sebagai Informasi dan Diskusi Kita , Bila Belum ada Jawaban Akan secepatnya ditindaklanjuti